18 Januari 2009

Perempuan Berkalung Sorban. Film feminis?

Tiga hari sejak dilaunching, Film Perempuan Berkalung Sorban ini telah menggelitik rasa penasaran saya untuk menyaksikannya. Sore ini saya benar2 bulatkan tekad untuk menonton Film karya Hanung Bramantyo ini. Sejak Film Ayat-Ayat Cinta, kayaknya Hanung jadi hobi membuat film-film bernuansa reliji. Yang pasti membawa angin segar buat saya pribadi, sebab setahu saya Hanung mampu mengemas film-filmnya menjadi enak ditonton, seger, dan nggak menggurui walaupun isinya sarat dengan muatan nilai dan nasihat. Film2 hanung yang udah pernah saya lihat seperti Jomblo, Get Married, Doa Yang Mengancam, dan tentu saja Ayat-Ayat Cinta, semuanya menurut saya bagus-bagus. Memang Baru 4 sih hehehe.

Poster dan judul Film Perempuan Berkalung Sorban ini secara lugas memproklamirkan diri sebagai film reliji. Apa benar? Lantas ada pula isue-isue yang menyatakan bahwa film ini membawa nilai-nilai feminisme dalam dunia perempuan islam. Bener nggak ya?

Nah, setelah nonton film ini saya coba bikin ulasan singkat sebagai seorang penonton awam. Moga membantu memberikan sedikit gambaran bagi yang mau nonton ya :)

Film ini sepanjang cerita kebanyakan mengambil setting di pesantren dan sebagian lagi di Kota Yogyakarta. View pantainya terus terang bagus sekali. Indah :)

Adegan-adegan awal film ini memperlihatkan betapa kehidupan di pesantren 'amat sangat' tidak berpihak kepada kaum perempuan. Tokoh Annisa (Revalina S. Temat) seorang anak yang kritis dan cerdas, putri Kiai pemilik pesantren. Dalil agama diartikan secara sempit (baca : salah) sehingga sangat mendiskriminasi dan menekan kaum perempuan. Misalnya ketika Annisa dilarang ayahnya untuk belajar berkuda seperti kedua kakaknya. Ketika memenangkan pemilihan sebagai ketua kelas Annisa tidak diperbolehkan menjabat sebagai ketua kelas, lagi-lagi hanya karena dia seorang perempuan. Puncaknya ketika dia ingin melanjutkan kuliah karena mendapat beasiswa ke Yogyakarta, malah dia diharuskan menikah dengan pria (Reza Rahadian) yang ternyata justru akan menghancurkan hidupnya.

Pria yang merupakan anak seorang kiai besar pemberi bantuan finansial kepada pesantren milik ayah Annisa ini ternyata seorang bajingan. Kehidupan rumah tangga Annisa yang penuh dengan kekerasan. Lagi-lagi sang suami menggunakan dalil-dalil agama untuk melegalisasi segala perbuatannya. Seringkali diperlihatkan Annisa gamang dengan keadilan Tuhan. Sang suami bahkan menghadiahkan istri kedua yang telah hamil kepada Annisa. Terciptalah neraka dalam rumah tangganya yang semakin membara.

Alkisah sejak kecil Annisa akrab dengan Pa'lenya (Oka Antara). Pa'lenya inilah sahabat dan tempat curhat satu-satunya yang paling mengerti dan selalu membela Annisa. Ada benih cinta yang mulai tumbuh di antara mereka. namun sang Pa'le harus melanjutkan kuliah di Mesir, pernikahan Annisa terjadi ketika itu.

Singkat cerita, cinta sejati akhirnya menjadi pemenangnya. Setelah bercerai dengan suaminya yang bejat Annisa akhirnya menikah dengan Sang Pa'le.

Kehidupan setelah bercerai dengan suami pertama digambarkan membawa banyak pencerahan bagi Annisa. Dia pun kembali kuliah dan mulai aktif menulis. Kecerdasan seorang Annisa menjadikan dia sebagai penulis handal. Kehidupan rumah tangga dengan Sang pa'le pun memberikan gambaran baru mengenai keindahan ajaran Islam yang sesunguhnya bagi Annisa. Walau sang suami tercinta akhirnya lebih dulu dipanggil Sang Kuasa, keindahan Islam yang sesungguhnya coba ia bagikan kembali ke pesantren milik ayahnya. Nah di sini perjuangan Annisa yang mendapat tantangan dari para guru-guru pesantren serta kedua abangnya. Seru intuk disaksikan.

Tokoh Annisa mampu dihidupkan oleh Revalina dengan baik. begitu juga dengan pemain lainnya terasa begitu pas, seperti Oka Antara dan Reza rahadian. Gimana nggak, contohnya pemain senior seperti Widyawati dan Mba Ida Leman juga ikutan main kok :)

Bila dilihat di awal hingga pertengahan film memang terasa sekali nuansa ketidakberpihakan ajaran Islam terhadap perempuan, mungkin inilah sebabnya ada yg menyebut film ini cenderung feminis. Namun jika kita mengikuti hingga akhir film, Hanung banyak memberikan jawaban2 atas pandangan2 keliru yang diperlihatkan di awal film. Bahwa bukan ajaran Islam yang tidak berpihak kepada perempuan, tapi salah kaprah dalam pengamalan ajaran Islam. Moga-moga penonton tidak menyimpulkan film ini secara parsial ya, bisa gawat :)

Yang cukup mengganggu pikiran saya setelah menonton film ini, jangan-jangan masih ada ya pesantren-pesantren yang memperlakukan kaum perempuan seperti itu???? Mudah-mudahan nggak ada. Kalau pun ada, ini tugas para ulama untuk 'segera' meluruskannya.

Alur film ini terasa runut dan mudah diikuti. Istimewanya lagi soundtrack film ini ternyata dinyanyikan oleh Siti Nurhaliza lho :) Satu yang lucu nih, Hanung juga ikutan main lho di sini, walaupun cuma sekian detik hehehe. Penasaran? Makanya, kayaknya nggak bakal rugi deh nonton film ini. Ayo!



2 komentar:

Anonim mengatakan...

selalu pertamax..
hehehehe
bangga diriku..
saya rasa masih banyak kok mas pesantren yang seperti itu..
apalagi yang di pedalaman, jadi gak terlalu tercium baunya..
kasihan emang perempuan yang tertindas..
saya juga tertarik ma film itu waktu liat iklannya, lain dari pada yang lain gituh..
sayang di kalimantan gak ada bioskop seperti di jawa..
ada tontonan Organ Tunggal aja senangnya setengah mati kok, apalagi ada bioskop..
hehehehe..
maklum, kalimantan penuh kekurangan, tapi juga banyak kelebihan..
hahahaha

Anonim mengatakan...

Ya itu yang saya takutkan. Mudah2an nggak ya.

Lho memang kamu di kalimantan mana sih? kok nggak ada bioskopnya? hehehe